lazdau-Cinta dalam Tetesan Hujan 28 Oct, 2021

Cinta dalam Tetesan Hujan

Sahabat DAU, kapan terakhir kali anda mandi hujan? Bukan kehujanan loh ya, tetapi memang sengaja untuk keluar dari tempat berteduh, hanya karena ingin merasakan jatuhnya tetesan hujan dari langit  membasahi tubuh. Kemudian menikmati dengan riang gembira (khusus ibu-ibu tentu ada pengecualian cukup dilakukan di dalam area lingkungan rumah).

Barangkali sebagian besar di antara kita sudah terlalu lama tidak merasakan lagi suasana demikian, bisa saja terakhir kali merasakannya saat masih remaja atau kanak-kanak. Bahkan sebagian orang, tetesan hujan akan membuka kembali memori lama, mengingatkannya pada suatu momen, entah di mana, dengan siapa dan dalam konteks apa. Hujan memang selalu punya beribu cerita.

Dalam rukun iman kita yang keenam; percaya pada qadha dan qadar. Pada bahasan qadar kita meyakini bahwa Allah SWT telah menentukan khasiat pada benda, kebutuhan jasmani, serta naluri, dimana semuanya akan berjalan sesuai ketetapan Sang Khalik tersebut. Api bersifat membakar, air bersifat membasahi,  manusia tidak bisa terbang, paru-paru kita tidak dirancang untuk bisa leluasa bernafas dalam air, dan sebagainya. Maka dalam konteks ini, kita wajib meyakini bahwa Allah SWT juga telah menentukan kadar terhadap makhluknya yang bernama hujan.

Namun, manusia memang punya kecenderungan untuk menganggap apa yang menguntungkan dirinya dengan istilah baik, sementara apa yang dianggap merugikan dirinya sebagai buruk. Sehingga kerap kali kita dengar keluhan bahkan umpatan manakala hujan turun. “Yah, hujan lagi..huuh”, sergah kita merasa dongkol. Padahal apabila kita renungi secara seksama, akan sampailah kita pada suatu kesimpulan, yakni itu semua (hujan, panas, badai, dan sebagainya) adalah suatu ketetapan Allah SWT. Dia yang Maha-Berkehendak, maka pasti terjadilah. Lantas keluhan atau umpatan itu atas siapa? Di sini kita mesti lebih hati-hati supaya tidak tergelincir.

Bahkan agama memandang bahwa hujan adalah rahmat. Kita diajarkan Baginda Nabi untuk berdo’a tipa kali mendapatinya turun, “Allahumma shayyiban nafi’an (Yaa Allah, turunkanlah kepada kami hujan yang bermanfaat)” Karena dengan perantara hujanlah, Ar-Razak menyuburkan yang gersang, menumbuhkan yang layu, minum bagi hewan liar dan binatang ternak.

Hujan juga dapat berguna sebagai juri yang adil untuk menilai seberapa tangguh atau handal sistem drainase suatu kota. Bila dengan hujan deras sedikit saja, air sudah menggenang, berarti sistem drainasinya buruk. Terkadang curah hujan memang turun secara ekstrem dan sudah hukum alamnya, air akan mengalir mencari lokasi yang rendah. Ketika wilayah genangan alami air seperti rawa, situ, ranca, leuwi, bantaran kali dan kawan-kawan beralih fungsi menjadi area pemukiman, sedangkan solusi alternatifya tidak dicarikan dalam ranacangan tata kota, wajar jika kemudian wilayah itu menjadi langganan banjir.

Energi sebuah hujan tidak berhenti sampai di sana. Entah berapa ribu, puluhan ribu, atau ratusan ribu anak dan keluarganya belum memiliki tempat berteduh yang layak. Jika sudah musim hujan, mereka kebasahan, atap tiris. Kondisi rumah mereka masih jauh dari kategori layak huni. Banyak juga anak-anak, ibu-ibu yang menggendong anak balitanya dengan kain lusuh, ketika hujan turun pakaian dekil mereka basah, lembab, akhirnya kering kembali menunggu terik sang mentari. Tidak semua mereka modus. Ada juga yang asli karena kondisi ekonomi.

Maka bagi kita yang kebetulan Allah anugerahkan rejeki lebih, sudah sepantasnya kita membantu saudara-saudara kita itu. Jadilah payung yang menaungi si miskin dan yatim di kala hujan. Semoga Allah SWT-pun senantiasa akan menaungi kita. Mari berdonasi, agar sesama kita merasakan ada cinta dalam tetesan hujan.      

0 Komentar

Leave a comment