Sudirman Pahlawan yang Alim
Sudirman salah satu Pahlawan Nasional. Kisah hidupnya, perlu sering kita ulang-ulang membacanya. Banyak yang mengenal beliau sebagai “Jenderal Alim”, “Panglima Santri” atau “Pemimpin Shalih”. Banyak hal yang bisa kita teladani.
Sekilas Performa
Sudirman lahir di Purbalingga Jawa Tengah, 24 Januari 1916. Dia berasal dari kalangan rakyat biasa. Dia bersahaja dan jujur. Hanya saja, Sudirman tumbuh dalam lingkungan yang sangat memerhatikan pendidikan agama.
Semasa bersekolah, Sudirman termasuk murid yang rajin dan berpikiran maju. Dia menyukai pelajaran Bahasa Inggris, Ilmu Tata Negara, Sejarah Dunia, Sejarah Kebangsaan, dan Agama Islam.
Ketekunannya dalam memelajari agama Islam dikenal banyak orang, terutama oleh teman-temannya. Hal itulah yang membuat dirinya dijuluki “Haji” oleh orang-orang di sekitarnya.
Sesibuk apapun, di rumah Sudirman rajin membantu berbagai pekerjaan “rumahan” seperti mengisi bak kamar mandi dan menyapu. Dia sangat taat pada orangtua. Hal lain, dia suka olahraga dan dikenal cakap di cabang sepakbola.
Aktivis Dakwah
Semasa sekolah, Sudirman aktif di kegiatan Muhammadiyah dan kepanduan. Awal, dia menjadi anggota Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI). Kemudian menjadi anggota kepanduan Hizbul Wathan (HW) Muhammadiyah.
Bakat dan jiwa kepejuangan Sudirman terlihat sejak dari kepanduan HW. Juga, peningkatan kemampuan fisik dan penggemblengan mental kemiliterannya ditempa melalui organisasi berbasis dakwah ini. Di HW, Sudirman tak hanya sebagai anggota tapi kemudian menjadi ketua.
Di kalangan HW, pengaruh Sudirman sangat besar sehingga dia diangkat sebagai pimpinan. Meski pendiam, dia tegas. Dia selalu berpegang kepada kebenaran. Dia dapat mengayomi kawan-kawannya.
Sudirman memiliki semangat berdakwah yang tinggi. Saat berdakwah, dia lebih banyak menekankan ajaran tauhid. Berikutnya, Sudirman menekankan kesadaran beragama dan kesadaran berbangsa.
Urutan berpikirnya, bahwa dengan membenahi tauhid maka akan timbul dengan sendirinya semangat jihad untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah. Memang, kapanpun, pekerjaan membenahi tauhid harus selalu didahulukan. Terlebih ketika itu masyarakat masih sangat kental dipengaruhi adat-istiadat yang tak sejalan dengan nilai tauhid.
Di soal jihad, ada beberapa ayat Al-Qur’an yang sering dikutip Sudirman. Di antaranya adalah QS As-Shaff [61]: 10-11, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih, (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di Jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”. Juga, QS Al-Baqarah [2]: 154 yang artinya: “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu ) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya”. Makna “hidup” di ayat itu, yaitu hidup dalam alam yang lain yang bukan alam kita ini. Di situ, mereka mendapat kenikmatan-kenikmatan di sisi Allah. Selebihnya, tentang makna “hidup” ini, hanya Allah sajalah yang mengetahuinya.
Dalam pergerakan menegakkan kemerdekaan, diniatkan oleh Sudirman bahwa hal itu sebagai bagian dari pelaksanaan jihad fi-sabilillah. Dia tanamkan kepada para anak buahnya, bahwa jika mereka gugur dalam perang maka itu tidaklah mati sia-sia melainkan gugur sebagai syuhada.
Sudirman berusaha meneladani seluruh kehidupan Rasulullah Saw. Dia sederhana, suka kebersihan, memelihara kebersamaan, dan punya siasat tangguh dalam melawan musuh.
Pemimpin Militer
Mengawali karir militernya sebagai seorang da’i muda yang giat berdakwah di era 1936 sampai 1942 di daerah Cilacap dan Banyumas. Pada masa itu Sudirman adalah da’i masyhur yang dicintai masyarakat.
Di antara tema yang sering disampaikan Sudirman adalah tentang jihad. Terkait ini, doktrin paling menonjol yang dipegangnya adalah “amar makruf nahi munkar”.
Perang gerilya yang Sudirman lakukan tak luput dari usahanya dalam mencontoh Rasulullah Saw. Sewaktu berada di Desa Karang Nongko, setelah sebelumnya menetap di Desa Sukarame, Panglima Besar Sudirman memiliki kalkulasi. Dia menilai desa tersebut tidak aman bagi keselamatan pasukannya.
Sudirman lalu mengambil keputusan untuk meninggalkan desa dengan taktik penyamaran. Ini diilhami atas apa yang dilakukan Rasulullah Saw beserta para sahabatnya saat akan berhijrah.
Setelah shalat subuh, Sudirman dengan beberapa pengawal pergi menuju hutan. Mantel yang biasa dipakai olehnya ditinggal dalam rumah di desa itu termasuk beberapa anggota rombongan, yaitu Supardjo Rustam dan Heru Kesser.
Pagi harinya, Heru Kesser segera mengenakan mantel tersebut dan bersama Supardjo Rustam berjalan menuju arah selatan. Sampai pada sebuah rumah, barulah mantel tersebut dilepas dan mereka berdua bersama beberapa orang secara hati-hati pergi menyusul Sudirman.
Sore harinya, pasukan Belanda dengan pesawat pemburunya membombardir rumah yang sempat disinggahi Supardjo Rustam dan Heru Kesser itu. Hal ini membuktikan, betapa Sudirman sangat menguasai taktik dan sejarah perjuangan dalam Islam.
Sang Teladan
Bangsa Indonesia harus bersyukur pernah memiliki putra terbaik. Sudirman adalah Bapak Tentara Indonesia yang shalih.
Sudirman wafat pada 29 Januari 1950 di Magelang. Umurnya relatif pendek, hanya 34 tahun. Tapi, jasa-jasanya kepada agama dan bangsa sungguh sangat panjang. Untuk itu, atas jasa-jasanya maka sangat pantas jika pada 1997 pemerintah Indonesia menganugerahinya gelar Jenderal Besar. Sungguh, Sudiman adalah pemimpin shalih yang berhasil. [Oleh M. Anwar Djaelani]
Leave a comment